SEJARAH PERADABAN ISLAM
PRESTASI INTELEKTUAL DINASTI ABBASIYAH
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen pengampu: Dr. H. Nasihul Umam, M.Ag
oleh:
Nama : Evi Yatul Liyana
Jurusan : Tafsir & Hadist C'16
NIM : 1604026051
Nama : Evi Yatul
Liyana
Kelas : Tafsir &
Hadist C
NIM : 1604026051
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masa Dinasti Abassiyah disebut sebagai masa keemasan Islam “the golden age”. Pada saat itu masyarakat Islam
telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, politik, peradaban
dan kekuasaan pada masa kekuasaan Dinasti Abassiyah yang pertama yang
beribukota di Baghdad. Selain itu juga telah berkembang berbagai ilmu pengetahuan, ditambah lagi
dengan banayaknya tokoh-tokoh penerjemahan bukudari bahasa asing kedalam bahasa arab. Hal ini yang kemudian
melahirkan cendikiawan-cendikiawan yang
terkenala dalam bidangnya. Selain itu Bani Abbas juga mewarisi imperium besar Bani Umayah yang
kemudian menjadikan mereka lebih banyak,
karena landasanya telah
dipersiapakan oleh daulah bani umayah
yang besar. Oleh karena itu pada masa ini terjadi banyak kemajuan-kemajuan
serta prestasinya yang sampai saat ini masih terasa.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Definisi Dinasti Abbasiyah ?
2.
Apa saja
Prestasi dan Kemajuan pada Dinasti
Abassiyah ?
3.
Apa Factor
yang membuat Prestasi dan Kemajuan pada Dinasti
Abassiyah ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
Definisi Dinasti Abbasiyah.
2.
Mengetahui
Apa saja Prestasi dan Kemajuan pada
Dinasti Abassiyah.
3.
Mengetahui
Apa Faktor yang membuat Prestasi dan
Kemajuan pada Dinasti Abassiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Dinasti Abbasiyah
1.
Keturunan Golongan Abbasiyah
Pemerintahan Dinasti Abassiyah adalah berketurunan dari al-Abbas
yang merupakan paman Nabi Muhammad SAW. Adapun pendiri kerjaan al-Abbas ialah
Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan dan
pendirian ini dianggap sebagai suatu kemenangan bagi kalangan Bani Hasyim
setelah kewafatan Rasulullah SAW. Jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga
Rasulullah dan keluarganya. Tetapi idea pendirian ini telah dikalahakan di
zaman permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa
jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh umat muslim. Kaum muslim
berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah
mendapat dukungan. Namun orang-orang Parsi yang masih berpegang kepada prinsip
hak ketuhanan yang suci, teru berusaha
menyebarkan prinsip tersebut, sehingga mereka berhasil membawa Bani Hasyim ke
penguasa pemerintahan.
Pada pandangan public umunya, golongan Alawiyin adalah lebih dekat
kepada Nabi SAW, karena kedudukan Fatimah yang menjadi anak Nabi SAW, sekaligus
Ali menjadi sepupu dan menantu beliau. Kemudian karena keutamaan Ali yang telah
memluk agama islam lebih awal daripada
sahabat yang laiinya serta perjuangannya dalam penegakan agam islam.
Tetapi golongan Abassiyah setelah
berkuasa lants mengumumkan mereka lebih
utama dari Bani Hasyim untuk mewarisi Nabi SAW, karena nenek moyang merkaialah paman Nabi SAW. Dan pusaka peninggalan tidak boleh diperoleh
dari pihak sepupu, jika ada paman dan keturuna dari anak perempuan tidak
mewarisi pusaka utama dengan adanya pihak ‘ashabhah’.
2.
Zaman Pemerintahan Abbasiyah secara Ringkas
Pemerintahan Dinasti Abassiyah berlanjutan dari tahun 132 H-656 H
yaitu selama 524 tahun. Pada tahun 656 H kaum Tatar melanggar dunia Islam,
membunuh Khalifah Abassiyah serta sebagian keluarganya dan mengumumkan
berakhirnya pemerintahan Abbasiyah. Selama periode tersebut dimanfaatkan
oleh golongan Abassiyah ketika memegang
kursi pemerintahan. Namun kekuasaan tersebut tidak selama waktu tersebut
sejajar atau dalam satu periode, sebaliknya kekuasaan tersebut berbeda-beda
kemudian terbagi menjadi system pemerintahan pada Dinasti Abassiyah menjadi
beberapa periode. Periode tersebut yaitu :
a.
Periode
pertama (132 H-232 H). Kekuasaan pada
periode ditangan Khalifah, disebut juga periode keemasan.
b.
Peride
kedua (232 H-590 H). Kekuasaan hilang
dari tangan khalifah atau periode Turki
c.
Periode
ketiga (590 H-656 H). Kekuasaan berada di tangan para khalifah, tetapi hanya di
Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Dimasa
pemerintahan Abbassiyah, muncul juga beberapa daulah yang memisahkan diri, baik
itu karena letaknya jauh dari Baghdad dan lemahnya penanganan khalifah
terhadapnya ataupun karena para kahalifah berada di bawah penguasa
kelompok-kelompok yang menang seperti Turki. Adapun daulah-daulah yang
memisahkan diri yaitu:
-
Daulah
Ash-Shafariyah
-
Daulah
Ash-Samaniyah
-
Daulah
Al-Ghaznawiyah
-
Daulah
Ath-Thuluniyah di Mesir
-
Daulah
Al-Ikhsyidiyah di Mesir
-
Daulah
Al-Fatimiyah di Maroko dan Mesir
-
Dan
daulah-daulah lainnya yang memisahkan diri di beberapa wilayah.
B.
Prestasi dan Kemajuan pada Dinasti Abbasiyah
1.
Bidang perdagangan dan pertanian
Periode Abassiyah telah mencapai kemajuanyang luar biasa terutama
pada periode Abassiyah pertama. Harun ar-Rasyid melakukan pengaturan
perdagangan dan memerintahakan kepada Muhtasib (pengawas) untuk
melakukan pengawasan terhadap pasar-pasar dan mengontrol timbangan-timbangan
serta menjaga stabilitas harga berbagai
kebutuhan untuk mencegah terjadinya praktik kecurangan atau perampasan harta
orang banyak. Pertukaran barang dagangan pun terjadi anatara Baghdad dan Negara-negara
lainnya dari berbagai belahan dunia. Kafilah dagang bergerak menuju China untuk
keperluan perdagangan sutera dan juga menuju Bukhara, Samarakand, Hiaz, serta
Habasyah (Ethiopia).
Jamil Nakhlah dalam bukunya menyebutkan “Ketika Dinasti Abassiyah
berlimpah harta dan Harun ar-Rasyid
menjamin keamana jalan para kafilah dan juga kapal yang mengangkut
barang dagangan dari seluruh penjuru dunia menuju Irak, maka berbagai perabotan
pun diangkut dari India, besi dari Khurasan, Timah dari Kiraman, kain tenun
dari Kashmir, kayu gaharu dan misik dari China,
minyak wangi dari Yaman, mutiara dari Adzab, kamper kemudian kelapa dan pakaian katun dari India dan Sind.
Selain itu juga batu permata dari Sarandib, kulit binatang dari Romawi,
buah-buahah kemudian senjata dan juga besi dari Syam dan Kulit dari Rusia.
2.
Bidang ilmu pengetahuan
Telah muncul perhatian yang cukup besar terhadap ilmu-ilmu naqliyah
contohnya seperti ilmu tafsir, qira’at (bacaan), hadist, fiqih, nahwu, bahasa
dan juga sastra. Kemudian ilmu-ilmu aqliyah seperti filsafat, teknik, astronomi,
music, kedokteran, kimia, sejarah dan geografi. Pada masa ini juga muncul para
ahli Kalam yang berbicara mengenai masalah kemahlukan Al-Qur’an. Muncul pula
kaum Mu’tazilah yang begitu mengedepakan akal dan memiliki kedekatan dengan
khalifah al-Ma’mun muncul dalam hal ini adalah ahli ilmu dan kelompok yang
mengedepankan naql dalam hal
adalah ahli ilmu dan kelompok mengedepankan akala disebut ahlul aql.
Dalam beberapa sumber
disebutkan bahwa al-Khalil bin Ahmad bertemu dengan Ibnu al-Muqaffa’,
keduanya berbicara tentang berbagai hal. Ketika keduanya berpisah, ditanyakan
kepada al-Khalil, “Menurutmu bagaimana Ibnu al-Muqffa’?” al-Khalil menjawab “Aku melihat Ibnu
al-Muqffa’ adalah seorang yang ilmunya
lebih banyak dari akalanya.” Ibnu al-Muqffa’
menjawab, “Aku melihat al-Khalil adalah orang yang akalnya lebih banyak
daripada ilmunya.”
Ada dua masalah penting dalam kemajuannya bidang ini yaitu:
Pertama, mencetak peradaban Islam tidak terbatas hanua oleh
orang Arab saja. Ini adalah karakteristik masa Abbasiyah dimana mayoritas orang
yang berkecimpung di bidang ilmu pengetahuan adalah kaum bangswan, terutama
Persia, dan bahasa Arab adalah salah satu sarana untuk saling memahami diantara
oaring-orang Islam. Pihak Abbasiyah tidak memberikan tekanan kepada pihak-pihak
lain dan tidak pula fanatik terhadap Arab seperti halnya pada Dinasti Umayah,
akan tetapi mereka mempersilahkan unsur-unsur non Aran untuk turut serta
dalam mencipatakan peradaban yang maju.
Oeleh sebab itu, maka cabang-cabang ilmu pengetahuan menjadi luas seiring
dengan meluasanya area wilayah pada masa
Dinasti Abbasiyah.
Dapat disimpulkan bahwa
pemegang ilmu pengetahuan di dalam Islam mayoritas dari non Arab, sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Khaldun, “Pemegang ikmu pengetahuan di dalam Islam
mayoritas adalah berasal dariorang-orang
non Arab hingga walaupun diantara merak adalah oaring Arab dari segi nasabnya, akan tetapi ia adalah non
Arab dari segi bahasa dan pendidikanya.”
Toleransi yang muncul dari pihak Dinasti Abbasiyah terhadap
unsur-unsur non Arab inilah yang memberikan kesempatan munculnya
talenta-talenta yang jarang
ditemukan dalam daulah. Karena
itu tidak mengeherankan Sibawaih dan Az-Zujaj, keduanya berasal dari non Arab.
Demikian juga para ahli hadist yang menghafal hadist dari ahli Islam,
kebanyakan adalah non Arab. Para ulama Ushul Fiqih kebanyakan juga dari non
Arab, demikian pula ulama kalam dan para ahli tafsir.
Kedua, penerjemahan
dan keterbukaan terhadap pemikiran dan kebudayaan pihak lain. Penerjemahan
diawali dengan bantuan pihak Persia dan telah diterjemahkan beberapa ilmu yang
berasal dari Yunani dan juga ilmu-ilmu Persia. Hanin bin Ishak melakukan
penerjemahan untuk khalifah Abu Ja’far al-Manshur terhadap buku-buku Galinus
dibidang Kedokteran dan menyalin serta
menerjemahkan Kitab As-Sanad Hind dan Kitab Iqlids di bidang arsitektur.
Perhatian terhadap penerjemahan semakin bertambah pada masa
Khalifah Harun ar-Rasyid yang semakin semangat karena dengan adanya dukungan
dari Ar-Baramikah. Di masa Al-Ma’mun,gerakan penyalinann dan penerjemahan dari
bahasa Yunanidan Persia ke dalam Bahasa Arab semakin bertambah. Beberapa oaring
juga menyalin banyak buku ke dalam
bahasa Arab seperti putra-putra Musa bin
Syakir al-Munjim yang telah menginfakkan
banyak harta dalam upaya memperoleh buku-buku tentang matematika.
Mereka memiliki keterkarikan besar
terhadap ilmu arsitektur, music dan astronomi. Pada masa Al-Ma’mun, muncul
beberapa ahli matematika seperti Muhammad Musa Al-Khawarizmi yang merupakan peletak
dasar ilmu Aljabar.
Orang-orang yang berkecimpung dalam penerjemahan tidak semata-mata
melakukan penerjemahan saja, akan tetapi mereka memahami kemudian memberikan sentuhan modern pada terjemah supaya sesuai realita.
Diantara mereka ialah Ya’qub bin Ishak
Al-Kindi seorang ahli dalam filsafat, kedokteran, ilmu hitung, mantiq
(logika), arsitektur dan astronomi. Diantara penerjemah yang popular pada saat
itu adalah ; Hanin bin Ishak, Ya’qub Al-Kindi, Tsabit bin Qarwah, Amr bi Farhan
Ath Thabari dan lain sebagainya.
3.
Kemajuan Peradaban Masyarakat
Masyarakat yang berada di bawah panji Islam mulai menyadari bahwa
syariat Islam berdiri atasa dasar ketauhidan, keadilan, kesetaraan, setelah
masyarakat tersebut merasakan kezaliman dan kefanatikan dari penguasanya. Para
ulama dari berbagai bidang keilmuan
melakukan penyebaran terhadap ilmu, menulis buku-buku, menafsirkanAl-Quran dan
mengumpulkan Hadist, dan kemajauan keilmuan diberbagai cabang pengettahuan.
Selain itu mereka melakukan perdebatana
anatara orang Islan dengan Syiah atau penganut agama lain. Ulama Islam
melakukan perdebatan mereka dengan
filsafat Islam ( ilmu Kalam). Jika pada masa DaulahUmayah cenderung mengarah ke
peperangan, berbeda dengan Abbasiyah
yang mana seluruh pemahaman Islam dengan segala toleransi dan
kelenturannya mampu menerima semua budaya
dan adat. Namun tetap diwarnai dalam corak Islam dengan memilih yang
baik dan membuang yang buruk.
System politik Abbasiyah juga adanya kebebasan dalam berpikir
tersebut memiliki pengaruh besar dalam munculnya metode-metode pemikiran yang melakukan pembelaan terhadap Islam seperti metode kaum Mu’tazilah dan
aliran-aliran lainnya. Sudah pasti bahwa
bergelut dalam berbagai disiplin ilmu yang telah disebutkan diatas, bail naqliyah
ataupun aqliyah tentunya akan
mencipatakan Negara yang maju, kuat dan bertahan lama, meskipun suatu saat akan
berakhir.
Meskipun terdapat sebuah realita penting, yaitu bahwa ideology
Islam telah ditentukan oleh Rasulullah SAW sesuai dengan manhaj Rabbani (metode
Tuhan), namun semua yang diterjemahkan, disalin dan disusuan membuahkan dua hal
yang besar pada saat itu, yaitu:
a.
Penelitian
dan pengelompokan Hadist untuk mengetahui mana yang shahih atau tidak.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik, Al-Bukhori, Muslim, At-Turmudzi,
Abu Daud, An-Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hambali dan lainya.
b.
Pengkodifikasian
dan pembukuan Fiqih seperti yang dilakukan oleh Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I,
Iman Abu Hanifah, dan Imam Ibnu Hambal. Dari sini maka terbentuklah gambaran
jelas konsep Islam yang benar dan juga Unsur-unsurnya. Kodifikasi tersebut memuat warisan pemikiran Islam sjak awal Rasullulah SAW, dengan hokum-hukum
yang dihadapi oleh Khulafaurrosyidin dan hal-hal yang berkaitan dengan
pengaturan masyarakat Islam di bidang muamalah diantara sesame muslim maupun
non muslim.
Menurut Nicolson menuturkan, “Meluasnya area wilayah Daulah
Abbasiyah dan kekaayaannya yang berlimpah serta perdaganganya yang lancer,
memiliki pengaruh besar dalam menciptakan kebangkitan budaya yang belum pernah
disaksisiakan sebelumnya oleh dunia timur hingga terlihat, bahwa beberapa
kahlifah dan beberapa orang awam menjadi
pencaei ilmiu atau paling tidak ahli
sastra.” Di masa Daulah Abbasiyah, orang-orang menjelajahi tiga benua dalam
rangka menuju tempat ilmu pengetahuan agar nantinya bisa kembali kenegara
mereka layaknya Kemudian menyusun
karya-karya yang berperan besar dalam sampainya ilmu-ilmu kepada zaman saat
ini.
4.
Bidang kesehatan
Popularitas Daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman
Khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak
dimanfaatkan Harun ar-Rasyid untuk keperluan social. Rumah sakit, lembaga
pendidikan Dokter dan Farmasi. Pada
masanya sudah terdapat paling tidak sekitar delapan ratus orang dokter
yang sukarela memberi pelayanan kepada
masyarakat tanpa adanya biaya. Disamping
itu juga dibangun tempat pemandian umum.
Tingkat kemakmuran yang paling tinggiterwujud dalam pada zaman khalifah ini.
Kesehateraan social, sesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusteraan berada pada
zaman keemasaanya.
5.
Bidang ekonomi
Kesejahteraan rakyat menjadi perhatian kholifah. Hal ini sangat
penting karena pada Daulah Abbasiyah para kholifah tidak hanya ingin
kemakmuran pada pejabatnya saja, tetapi
pada rakyat kecil. Mereka ingin seluruh
kebutuhan sandang dan pangan dapat
dijangkau oleh sampai masyarkat pedesaan kecil. Para khalifah juga mengurangi
tingkat pengangguran dengan didirikannya pabrik yang menghasilakan kebutuhan
masyarakat.
Untuk menanamkan
peprputaran keuangan, para khalifah melakukan langkah-langkah berikut:
a.
Mendirikan
pabrik perusahaan, hasilnya untuk kepentingan agama dan masyarakat.
b.
Baghdad merupakan Negara yang perdagangannya besar, yang kemudian
membantu pertumbuhan penghasilan ekonomi Negara.
c.
Kholifah
Harun ar-Rasyid memerintah bendaharawan Baitulmal untuk menanggung biaya
Narapidana.
6.
Bidang budaya
Pada masa kejayaan Kholifah bani Abbas telah memiliki sejumlah
prestasi dalam bidang budaya. Pada masa
itu masyarakat Islam telah memulai melakukan kajian, penelitian tentang ilmu
pengetahuan.
Perkembangan Islam pada zaman Bani Abbasiyah dapat dilihat dari peranan masjid dan
madrasah. Kedua tempat itu tidak hanya
digunakan sebagai alat untuk beribadah tetapi juga sebagai tempat pusat perkembangan pendidikan Islam,
contohnya:
a.
Madrasah
yang didirikan oleh menteri Nidzamul Mulk di berbagai Negara seperti Baghdad, Balkhan, Muro, Tabsiran, Naisabur dan sebagainya.
b.
Kuttab,
yaitu sebagai tempat pendidikan tingkat rendah dan menengah.
c.
Majlis
Munasarah, yaitu sebagai tempat pertemuan
para pujangga, ahli fikir,dan masalah ilmu lainnya.
d.
Darul
Hikmah adalah sebagai pusat perpustakaan yang di bangun oelh Harun ar-
Rasyid dan Al-Makmun.
Sedangkan klasofikasi kota-kota
dalam pengakajian ilmu agama adalah sebagai berikut :
-
Mekkah
dan Madinah sebagai pusat ilmu Hadist
dan Fiqih.
-
Baghdad,
Kuffah, Basrah adalah kota tempat ilmu Tafsir, Hadist, Fiqih, Bahasa, Sejarah
Ilmu Kalam, Filsafat dan lain-lain.
-
Fusfat,
Iskandariyah dan Mesir sebagai pusat Ilmu Agama.
-
Isfanah
merupakan kota pusatnya ulama dan sarjana.
-
Bukhara
sebagai tempat berdirinya maktab buh bin nahar as-sama’ny merupakan perguruan
tinggi yang sangat lengkap.
-
Beirut,
Damaskus, Halb di Syam sebagai pusat Ilmu Hukum dan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Badari, Yatim. 2003. Sejarah peradaban islam dirasah islamiyah
II. Jakarta: PT Raja Grafindo persada.
Tatang, Ibrahim. 2004. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah
kelas VIII semester I dan 2. Bandung; Armico.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar