Al -WUHDAN AL -MUDALLISUN
MAKALAH
Di susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Mokh Sya’roni , M. Ag
Disusun Oleh :
Nur Faizah : 1604026019
Ika Fatkhiatul Azizah : 1604026017
Efiyatul Liana : 16040260
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Al-wahdan adalah para rawi yang hadis-hadisnya hanya diriwayatkan
oleh seorang rawi saja. Sedangkan al-mudallisun sendiri adalah rawi yang
meriwayatkan (mengaku menerima) suatu hadis dari orang yang pernah ia terima
hadisnya, tetapi kali ini hadis itu tidak diterima darinya, dan dalam
menyampaikannya ia menggunakan kata-kata yang mengesankan bahwa ia menerima
hadis itu darinya, seperti kata ‘an Fulan (dari Fulan) atau Qala
Fulan (berkata Fulan).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-wahdan
الوحدان هم الرواة الذين لم يرو عنهم الا راو واحد
Al-wahdan adalah adalah para rawi yang hadis-hadisnya hanya
diriwayatkan oleh seorang rawi saja. Sedangkan al-mudallisun sendiri adalah
rawi yang meriwayatkan (mengaku menerima) suatu hadis dari orang yang pernah ia
terima hadisnya, tetapi kali ini hadis itu tidak diterima darinya, dan dalam
menyampaikannya ia menggunakan kata-kata yang mengesankan bahwa ia menerima
hadis itu darinya, seperti kata ‘an Fulan (dari Fulan) atau Qala
Fulan (berkata Fulan).
Faedah mengetahui ilmu ini adalah untuk dapat mengetahui rawi yang
majhul selain sahabat. Diantara para sahabat yang termasuk kategori al-wahdan
adalah Wahab bin Khanbasy, al-Musayyab bin Hazn (ayah Sa’id) dan Amr bin
Taghlib.
Mengingat sulitnya ketunggalan seorang rawi, maka dalam mengkritik
riwayat jenis ini para ulam banyak menggunakan kalimat “La yarwi ‘anhu illa
wahidun” (hanya seorang rawi yang meriwayatkan hadis darinya).
Al-Hakim mengklaim bahwa Syaikhain tidak meriwayatkan hadis dari
kelompok ini sedikit pun. Akan tetapi sebagian ulama menyanggahnya dan berkata
bahwa Syaikhain meriwayatkan hadis dari sejumlah rawi yang termasuk kelompok
ini. Al-Dzahabi menyebut nama sepuluh orang sahabat yang termasuk kelompok ini
dan hadisnya diriwayatkan oleh Bukhari.
Akan tetapi, apabila hal ini dinisbatkan kepada para sahabat itu tidak
akan mengurangi kreadibilitas mereka sedikit pun, karena mereka semuanya adil
dan karenanya al-Hakim mengecualikannya. Namun, apabila dinisbatkan kepada
selain sahabat, maka syarat yang dikemukakan oleh al-Hakim itu meskipun tidak
berlaku bagi sebagian sahabat harus mempertimbangkan bagi orang-orang setelah
mereka, sehingga dalam kitab al-Bukhari itu tidak terdapat satu hadis pun yang
diriwayatkan melalui rawi yang termasuk ini.
B.
Pengertian Al-mudallisun
المدلّس هو من يحدّث عمن سمع منه ما لم يسمع منه بصيغةٍ توهم انّه سمع
منه. كأن يقول عن فلانٍ أو قال فلانٌ.
Mudallis adalah rawi yang meriwayatkan (mengaku menerima) suatu
hadis dari orang yang pernah ia terima hadisnya tetapi kali ini hadis itu tidak
diterima darinya, dan dalam menyampaikannya ia menggunakan kata-kata yang
mengesankan bahwa ia menerima hadis itu darinya, seperti kata-kata ‘an Fulan
(dari Fulan) atau Qala Fulan (berkata Fulan).
Kata mudallas adalah bentuk jamak isim maf’ul dari kata:
دلّس-
يدلّس- تدْليْسًا فهو مدلّسٌ ومدلّسٌ.
Kata at-tadlis secara bahasa diartikan menyimpan atau
menyembunyikan cacat barang dagangan dari pembelinya. Pembeli mengia bahwa
barang dagangan itu bagus, indah dan menarik, tetapi setelah diteliti benar dan
dibolak-balik, ternyata terdapat cacat pada barang dagangan tersebut.
Tadlis menurut etimologis juga diartiakan bercampurnya gelap dan
terang. Hadis mudallas di namai demikian karena ia mengandung kesamaran dan
ketertutupan.
Adapun menurut
istilah, kata hadis ,mudallas adalah sebagai berikut.
إخفاء
عيبٍ في الإسناد وتحسينٌ لظاهره.
Menyembunyikan
cacat dalam isnad dan penampakan cara (periwayatan yang baik).
Hadis mudallas juga disebut sebagai hadis yang isnadnya tersembunyi
baik itutersembuyi sanadnya atau guru (syaikh)-nya.
Maksud
menampakkan cara periwayatan yang baik adalah menggunakan ungkapan periwayatan
yang tidak tegas bahwa ia mendengar dari penyampai berita. Hadis mudallas ini
hampir sama dengan mursal khafi. Letak perbedaannya sangat kecil. Jika perawi
itu hidup semasa dan pernah bertemu dengan pembawa berita, tetapi tidk pernah
mendengar hadis daripadanya. Kemudian ia meriwayatkan suatu berita yang sebenarnya
ia tidak mendengar langsung, dengan ungkapan kata yang tidak tegas seperti, qala
Fulan dan ‘an Fulan, maka hadisnya disebut mursal khafi. Dan jika perawi
itu hidup semasa, pernah bertemu dan mendengar beberapa hadis dari penyampai
berita, lalu ia meriwayatkan suatu hadis yang sebenarnya ia tidak mendengar
langsung denga ungkapan yang tidak tegas. Maka hadisnya, disebut mudallas.
Di
antara para periwayat yang cacat sebagai mudallis adalah Muhammad bin Ishaq,
Ibnu Juraij, Baqi’ bin al-Walid, al-Walid bin Muslim dal lain-lain.
Para ulama
membagi hadis mudallas menjadi beberapa bagian, tetapi dapat kita
klasifikasikan menjadi dua bagian pokok, yaitu tadlis isnad dan tadlis
syuyukh.
1.
Tadlis isnad adalah
أن
يروي الرّاوي عمن لقيه ما لم يسمعه منه موهما سمًاعه.
Seorang perawi
meriwayatkan suatu hadis yang ia tidak mendengarnya dari seseorang yang pernah
ia temui dengan cara yang menimbulkan dugaan bahwa ia mendengarnya.
Maksud definisi di atas, tadlis
isnad adalah seorang rawi meriwayatkan sebagian hadis yang telah ia dengar
dari seorang syaikh, tetapi hadis yang di-tadlis-kan ini memang tidak
didengar darinya, ia mendengar dari syaikh lain yang mendengar daripadanya.
Kemudian syaikh lain ini digugurkan dalam periwayatan dengan menggunakan
ungkapan yang seolah-olah ia mendengar dari syaikh pertama tersebut. Seperti
kata qala Fulan atau ‘an Fulan. Tidak dengan ungkapan periwayatan
yang tegas, seperti haddatsani = memberitahukan kepadaku atau sami’tu
= aku mendengar, maka ia dihukumi pendusta. Contohnya hadis yang diriwayatkan
oleh imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah melalui jalan abu Ishaq As-Subay’i
dari Al-Barra bin Azib r.a. bekata: Rasulullah saw. bersabda:
ما
منْ مسلميْن يلتقيان فيتصا فحان إلّا غفر لهما قبل أنْ يتفرّقا.
Tidak ada dari
dua orang yang bertemu kemudian bersalam-salaman, kecuali diampuni bagi mereka
sebelum berpisah.
Abu Ishaq As-Subay’i aslinya Amr bin
Abdullah, ia seorang yang tsiqah, tetapi disifati mudallis. Ia
mendengar beberapa hadis dari Al-Barra bin Azib, tetapi dalam hadis lain, ia
tidak mendengar darinya secara langsung. Ia mendengar dari Abu Dawud Al-Ama
yang matruk hadisnya. Kemudian meriwayatkan dari Al-Barra dan menyembunyikan
Abu Dawud dengan ungkapan ‘an’anah = dari (sanad-nya menggunakan
kata ‘an = dari). Menurut Ibnu Al-Shalah dan Imam Al- Nawawi, hadis tadlis
isnad disebut juga hadis mursal khafi. Adapun hadis yang diriwayatkan oleh
orang tidak dalam satu masa itu disebut hadis mursal dhahir.
1.
Tadlis isnad terdiri
atas empat macam tadlis, yaitu :
a.
Tadlis isqath
Tadlis isqath adalah apabila seorang muhaddits meriwayatkan suatu hadis yang
tidak didengarnya dari ornag yang pernah bertemu dengannya dan pernah didengar
hadisnya, lalu hadis tersebut dinisbatkan kepadanya untuk memberi kesan bahwa
ia telah mendengar hadis itu darinya. Atau dari orang yang pernah berjumpa
dengannya tetapi tidak pernah didengar hadisnya untuk memberi kesan bahwa ia
telah bertemu dan mendengar hadis itu darinya.
Seperti ia
berkata: an Fulanin atau anna Fulanan qala kadza atau haddatsana
Fulanun Kadza, dan kata-kata sejenis yang mengesankan adanya proses
penerimaan hadis tetapi tidak secara tegas menyatakan demikian. Kadang-kadang
antara dia dan orang yang diriwayatkan
hadisnya terdapat seorang rawi atau lebih.
Adapun apabila
ia mengungkapkan kata-kata yang secara tegas menunjukkan adanya proses
penerimaan hadis, seperti kata “haddatsani” atau “sami’tu” maka ia
tidak lagi disebut mudallis, melainkan disebut kadzdzab yang sama
sekali tidak perlu diperhatikan. Oleh karena itu, seorang mudallis mengaku telah
melakukan tadlis ketika ia dimintai penjelasan dan diteliti orang lain
tentang proses penerimaan hadisnya. Bahkan, banyak di antara mereka yang dengan
kesadaran sendiri menjelaskan hadis yang telah di-tadlis-nya. Hal
terakhir dilakukan agar tidak mengelabui manusia.
Contoh hadis
mudallis yang demikian adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu ‘Awamah dari
al-A’masy dan Ibrahim al-Taimi dari ayahnya dari Abu Dzarr bahwa Nabi saw.
bersabda:
فلانٌ
في الناّر ينادى: ياحناّن يا مناّن.
Si Fulan dalam
neraka memanggil-manggil “Ya Hannanu, Ya Mannanu” (Wahai
zat yang Maha Pengasih, Wahai zat yang Maha Pemberi Anugerah).
Abu Awamah
berkata: Saya bertanya kepada al-A’masy: “Benarkah kau mendengar hadis ini dari
Ibrahim?” Ia menjawab ”Tidak”. Hadis itu diriwayatkan kepadaku oleh Halim bin
Juhair darinya. Jadi, al-A’masy men-tadlis hadis itu dari Ibrahim,
tetapi ketika ia dimintai penjelasan, ia menjelaskan perantara antara dirinya
dan Ibrahim.
b.
Tadlis Taswiyah
وهو
أن يروي المدلّس حديثاً عن ضعيفٍ بين ثقتين لقي احدهما الاخر فيسقط الضعيف و يجعل
بين الثقتين عبارةً موهمةً.
Tadlis Taswiyah adalah seorang mudallis meriwayatkan suatu hadis yang melalui
riwayat dhif yang terdapat di antara dua rawi yang tsiqat yang salah
satunya bertemu dengan yang lain, lalu rawi yang dhaif itu tidak dicantumkan
dan di antara dua orang rawi yang tsiqah itu, kemudian dicantumkan
sebuah ungkapan yang mengesankan adanya proses penerimaan hadis antara kedua
orang itu tidak secara tegas.
Dengan
demikian tampak bahwa sanad hadis yang bersangkutan terdiri atas sederetan rawi
yang tsiqah bagi orang yang tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Para
muhaddits mutaqaddimin menamainya dengan tajwid, karena mudallis itu
hanya menyebutkan para rawi yang baik-baik dan membuang rawi yang lain.
-
Tadlis Taswiyah, yaitu seorang perawi meriwayatkan hadis dari
seseorang syaikh, kemudian digugurkan seorang dhaif antara dua syaikh yang tsiqah
dan bertemu antara keduanya.
-
Tadlis Taswiyah, juga diartikan perawi meriwayatkan hadits dari
seorang guru, lalu perawi-perawi yang dhaif yang ada di antara dua guru yang tsiqah
digugurkan, yang keduanya sudah pernah bertemu.
Maksudnya,
perawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang oleh guru tersebut diterima dari
gurunya yang dhaif, dan guru yang dhaif ini menerima dari guru yang tsiqah.
Ulama salaf
menyebut tadlis taswiyah dengan sebutan tadlis tajwid, karena
dalam periwayatannya terdapat seorang rawi yang berusaha memperbaiki sanad
hadis itu dengan jalan menghilangkan rawi yang lemah dan menetapkan rawi yang
baik-baik saja. Seorang rawi yang terkenal melakukan tadlis taswiyah ini
adalah Baqiyyah Ibnu Al-Walid bin Muslim.
c.
Tadlis Qath’
وهو
أن يقطع اتصال أداة الرواية بالراوى.
Tadlis qath’ adalah memisahkan persambungan adaturriwayah dengan nama
rawinya.
Contohnya
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Kasyram.
كنا
عندابن عيينة فقال: الزهرى؛ فقيل له, حدثكك؛ فسكت, ثم قال: الزهرى فقيل له؛ سمعته
منه؟ فقال: لم اسمعه منه ولا ممن سمعه منه حدثني عبد الرزاق عن معمر عن الزهرى.
Pernah ketika
kami berada di samping Ibnu Uyainah, maka ia berkata “Al-Zuhri” Maka ditanyakan
kepadanya, “Apakah al-Zuhri meriwayatkan hadis kepadamu?” Maka ia diam.
Kemudian ia berkata, “Al-Zuhri” Maka ditanyakan kepadanya, “Apakah engkau
mendengar hadis darinya?” Maka ia berkata, “Saya tidak mendengar hadis itu dari
al-Zuhri dan tidak dari orang yang mendengarnya darinya, melainkan meriwayatkan
kepadaku Abdurrazaq dari Ma’mar al-Zuhri.”
Hadis ini
merupakan contoh tadlis isqath beserta gugurnya adaturiwayah.
d.
Tadlis ‘Athaf
وهو
أن يصرح بالتحد يث عن شيخ له ويعطف عليه شيخا اخر لم يسمع منه ذلك المروي.
Tadlis Athaf adalah penyataan seorang rawi bahwa ia telah menerima hadis dari
seorang gurunya dengan meyertakan guru lain yang tidak ia dengar tersebut
darinya.
Al-Hakim
berkata, “ Sejumlah rawi meriwayatkan hadis kepada kami bahwa sekelompok murid
Husyaim pada suatu hari sepakat untuk tidak menerima hadis mudallis darinya.
Namun ia cukup cerdik untuk itu, maka pada suatu ketika ia meriwayatkan hadis
dengan mengatakan:
حدثنا
حصين و مغيرة عن ابراهيم.
Meriwayatkan
hadi kepada kami Hushain dan Mughirah dari Ibrahim...
Setelah selesai
ia berkata, “Apakah pada hari ini aku me-tadlis hadis kepada kalian?” Mereka
menjawab : “Tidak.” Ia lalu berkata: “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu
huruf pun dari hadis yang aku sampaikan ini. Sebenarnya aku berkata:
حدثنى
حصين ومغيرة غير مسموع لى.
Meriwayatkan
hadis kepadaku Hushain, sedangkan Mughirah tidak saya dengar hadisnya.
Yakni, ia menyembunyikan kata-kata yang tidak ia ungkapkan kepada
murid-muridnya itu, sebagaimana yang ia jelaskan.
Hukum tadlis isnad
dengan segala jenisnya adalah sangat dibenci oleh kebanyakan ulama. Syu’bah bin
al-Hajjaj berkata, “Tadlis itu saudaranya pembohong.” Sulaiman bin Dawud
al-Munaqqari berkata, “Tadlis, penyembunyian fakta, bujuk rayu palsu,
penipuan dan kebohongan pada hari rusaknya seluruh rahasia(hari kiamat) akan
dikumpulkan dalam satu jalur.”
دلّس للنّاس احاديثه والله لا يقبل تدليسًا.
Ia men-tadlis hadis-hadisnya kepada manusia, dan Allah swt.
tidak akan menerima tadlis.
Di antar sekian macam tadlis isnad, yang paling jelek adalah tadlis
taswiyah, karena rawi tsiqah yang pertama kadang-kadang tidak dikenal sebagai
seorang mudallis, sehingga seorang peneliti setelah adanya tadlis taswiyah akan
beranggapa bahwa ia meriwayatkan hadisnya dari rawi lain yang tsiqah dan
karenanya menghukuminya sahih. Dalam hal yang demikian terkandung penipuan
besar. Al-Hafizh al-Ala’i berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan hadis
tadlis macam ini adalah dhaif.”
Adapun berkenaan dengan hukum hadis mudallas degan tadlis isnad
ini para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka yang berhaluan keras
menilainya sebagai hadis yang cacat dan karenanya mereka tidak menerimanya, dan
sebagian lain yang menganggap mudah hal itu menerimanya secara mutlak.
Pendapat yang sahih adalah yang diikuti oleh jumhur ulama imam hadis,
yaitu relatif. Yakni bahwa hadis mudallas yang diriwayatkan oleh rawi mudallis
yang tsiqah dengan menggunakan ungkapan yang tidak tegas dan tidak
menunjukkan as-sima’(penerimaan hadis dengan cara mendengarnya), maka
hukumnya sama dengan hadis munqathi’, yaitu ditolak. Adapun hadis mudallas yang
diriwayatkan dengan ungkapan yang menunjukkan bersambungnya sanad, seperti
dengan kata-kata sami’tu, haddatsana, dan akhbarana. Maka
hadisnya dihukumi muttasil dan dapat dipakai sebagai hujjah apabila matan dari
sanadnya memenuhi semua kriteria kehujjahan hadis.
Hal ini terjadi karena tadlis bukanlah suatu kedustaan,
melainkan semacam tindakan meragukan dengan redaksi yang tidak tegas. Sehingga
apabila ketidaktegasan itu hilang, maka sanad yang bersangkutan adalah
muttasil. Sikap ini dipilih oleh jumhur ulama, lebih-lebih imam Syafi’i, sebab
ia pernah mengambil sikap yang demikian terhadap orang yang kita ketahui telah
melakukan tadlis pada suatu keempatan.
Kesahihan pendapat di atas diperkuat pula oleh pemuatan hadis-hadis
serupa dalam al-Shahihain dan kitab rujukan lainnya dalam jumlah yang
cukup banyak yang semuanya menegaskan terjadinya al-sima’ seperti
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Qatadah, al-A’masy, Sufyan al-Tsauri, Ibnu
Uyainah, Husyaim bin Basyir. Pen-taskhih-an para imam hadis terhadap
hadis-hadis para rawi yang menjelaskan persambungan sanadnya ini menunjukkan
pendapat yang telah tercantum di atas.
2.
Tadlis Syuyukh
Kata syuyukh
jamak dari kata syaikh, yang maksudnya guru atau rawi.
Mudallas
syuyukh ialah tadlis tentang rawi-rawi.
وهو
أن يروي الراوي عن شيخ حديثاً سمعه منه فيسميه او يكنيه او ينسبه او يصفه بما
لايعرف به كي لايعرف.
Tadlis Syuyukh adalah seseorang meriwayatkan hadis yang didengarnya dari seorang
guru lalu menyebutkannya dengan nama, gelar, nasab, atau sifatnya yang tidak
dikenal dengan maksud agar tidak diketahui siapa ia sebenarnya.
Contohnya,
al-Harits bin Abi Usamah meriwayatkan hadis dari al-Hafizh Abu Bakar Abdullah
bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Abi
al-Dunya. Al-Harits itu lebih tua daripada a-Hafizh Abu Bakar, lalu ia men-tadlis-nya;
kadang-kadang ia menyebutkan Abdullah bin Ubaid, kadang-kadang menyebutnya Abu
Bakar bin Sufyan.
Demikian pula
al-Khatib al-Baghdadi terhadap beberapa gurunya. Ia meriwayatkan hadis dalam
kitabnya al-Rihlah fi Thalab al-Hadits dari al-Hasan bin Muhammad bin Khalal.
Kemudian, ia men-tadlis-nya dengan menyebutkan al-Hassan bin Abu Thalib.
Ia juga meriwayatkan hadis dari gurunya, yaitu Muhmmad bi al-Husain bin
al-Fadhl dan dalam ia men-tadlis-nya dengan menyebutnya Ibn al-Fadhl dan
dalam kesempatan lain ia menyebutnya Muhammad bi al-Husain.
Tadlis yang seperti ini banyak terdapat dalam kitab-kitab yng disusun oleh
para ulama mutaakhirin.
Hal ini telah
diantisipasi oleh para ulama dengan mengadakan penelitian dan menjelaskan
nama-nama yang di-tadlis ini. Dalam berbagai kitab, pembahasan ini
diberi judul Man ‘Urifa bi Asma’in wa Nu’utin Muta’adidah.
Hukum tadlis
jenis kedua ini secara global tidak seberat tadlis isnad karena guru
yang di-tadlis itu dapat diketahui oleh orang yang luas pengetahuannya
tentang para rawi dan nama-nama mereka. Hanya saja pelaku tadlis ini
boleh jadi ingin menghilangkan nama gurunya itu, sehingga pada akhirnya ia
berakibat terlantarnya hadis yang diriwayatkannya.
Tingkat
kejelekan tadlis syuyukh itu bervariasi sesuai dengan beragamnya motif
pelakunya. Oleh karena itu, tadlis syuyukh yang paling jelek adalah apabila
guru yang di-tadlis itu adalah rawi yang dhaif. Tadlis terhadap
guru dhaif itu tiada lain agar kelihatan bahwa riwayat yang bersangkutan
berasal dari rawi yang dhaif atau terjadi karena salah duga terhadapnya bahwa
ia adalah salah seorang rawi tsiqah yang namanya sama dengan gelarnya.
Kadng-kadang
motif tadlis syuyukh ini adalah karena gurunya itu lebih muda atau wafatnya
lebih akhir bersamaan dengan orang yang dibawah usianya. Dan sering kali motif
tadlis syuyukh ini yaitu untuk memberi kesan bahwa gurunya banyak. Sering kali
pula motif seorang muhadits melakukan tadlis syuyukh itu untuk menguji
kecerdasan para pencari hadis dan orang yang mempelajarinya serta untuk
mengarahkan agar mereka bersikap kritis mengenai karakteristik para rawi, nasab
mereka, dan sebagainya.
C.
Hukum Periwayatan Tadlis
Periwayatan tadlis dikenal sebagai muadallis ada beberapa pendapat
tentang hukum periwayatannya, apakah diterima atau tidak yaitu:
1)
Ditolak secara mutlak, baik dijelaskan dengan tegas( as-sama’)
atau tidak, yaitu pendapat sebagian Malikiyah. Bahkan menurut sebagian mereka walaupun
diketahui sekali melakukan tadlis, tetap ditolak.
2)
Diterima secara mutlak, pendapat Al-Khatib dalam al-kifayah
dari para ahli ilmu. Alasan pendapat ini, tadlis dipersamakan dengan irsal
(hadis mursal).
3)
Diterima jika tidak diketahui melakukan tadlis kecuali dari
orang tsiqah, ini pendapat Al-Bazzar, Al-Azdi, Ash-Shayrafi, Ibnu
Hibban, dan Ibnu Abdul Barr.
4)
Diterima jika tadlis-nya langka atau sedikit saja seperti
pendapat Ali bin Al-Madini.
5)
Diterima periwayatannya, jika ia tsiqah dan mempertegas
periwayatannya dengan as-sama’, seperti pendapat jumhur muhadditsin.
Pendapat yang terakhir ini yang shahih.
Demikian
perbedaan pendapat para ulama mempertimbangkan posisi hadis mudallas secara
adil. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ada tiga pendapat, yaitu diterima
secara mutlak, ditolak secara mutlak, dan diterima dengan catatan atau syarat
tertentu.
D.
Beberapa Faktor Pendorog Tadlis
Ada beberapa faktor pendorong terjadinya tadlis as-syuyukh,
yaitu:
1)
Kelemahan seorang syaikh atau ia tidak tsiqah,
2)
Wafat syaikh belakangan sehingga dimungkinkan ia bersama jamaah
dalam mendengar hadis dari penyampai berita, padahal tidak demikian,
3)
Usia muda memungkinkan terjadinya tadlis as-syuyukh, karena
ia lebih muda daripada yang meriwayatkannya,
4)
Banyaknya periwayatan, ia tidak suka memperbanyak periwayatan
dengan menyebutkan satu nama.
Sedangkan untuk tadlis isnad, selain tiga faktor pendorong
utama diatas, ditambah dua hal sebagai berikut.
1)
Memberi pemahaman isnad ‘ali (isnad yang sedikit perawinya).
2)
Luput sedikit sebagian dari sanad hadis yang banyak dan panjang
sebagaimana yang ia dengar dari syaikh.
E.
Nama-nama Mudallis
Di antara rawi yang dikenal banyak melakukan tadlis adalah Baqiyah
bin al-Walid, al-Walid bin Muslim al-Dimasyqi, Husyaim bin Basyir, Ibnu
‘Uyainah, al-A’mas, Qatadah as-Sadusi, Abdurrazaq bin Hammam, Hasan al-Basyri,
Ibnu Abbas, Jarir bin Hamzah al-Azdi, Thawus bin Kaisan, Hafsh bin Ghiats,
Hisyam bin Urwah, Sufyan ats-Tsauri, Humaid at-Thawil, ‘Irimah bin ‘Ammar,
Hajjaj bin Arthath, Muhammad bin Isyhaq bin Yasar, ‘Abdullah bin Lahi’ah.
F.
Buku Hadis Mudallas
1)
At-Tabyin li Asma’ Al-Mudallisin, karya Al-Khatib Al-Baghdadi.
2)
Ta’ri Ahl At-Taqdis bi Maratib Al-Mawshufin bi At-Tadlis, karya
Ibnu Hajar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin ‘itr. 2012. Manhaj
An-Naqd Fi ‘uluum al-hadits. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Faisal
Rosidin, Mukarom. 2012. HADIS. Solo : PT Wangsa Jatra Lestari.
Majid Khon, Abdul. 2013.Ulumul
Hadis. Jakarta : Amzah.
Ma’shum
Zein, Muhammad. 2008. Ulumul hadits dan Mustholah Hadits. Jombang :
Darul Hikmah.
Hassan,
A. Qadir. 2007. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung : CV Penerbit Diponegoro.
Sattar,
Abdul. 2015. Ilmu Hadis. Semarang : Rasail Media Grup.
Alawi
Al-Maliki, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar