Senin, 05 Juni 2017

MAKALAH Minat Masyarakat dalam Bidang Pewayangan



MAKALAH
Minat Masyarakat dalam Bidang  Pewayangan
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah  : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sri Suhandjati
 



Oleh :
Evi Yatul Liyana                (1604026051)


JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
   Islam mengajarkan  supaya manusia mencari jalan kebahagian  hidup di dunia dan akhirat. Hal ini sesuai dengan fitrah  manusia yang ingin hidup bahagia. Melalui jalan keselamatan  yang diajarakan oleh agama Islam. Allah memerintahkan manusia untuk mengajak kebaikan mencegah kemungkaran, sebagaimana  firman Allah dalam QS. ali-Imran ayat 104 yang bermakna “ Dan hendaklah  ada dianatara kamu  segolongan umat yang  menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung “. [1]   
   Dalam peyebaran Islam indicator  terpenting yaitu akan adanya dakwah yang digunakan para mubaligh untuk menyebarkan agara manusia menyembah Allah dengan  syariat yang diperintahkannya, oleh karena itu para pendakwah harus pandai dalam mengembangkan dakwah mereka. Penyebaran islam ke Indonesia pun melalui beberapa jalur antara lain: peradagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, politick dan kesenian. Dari kesenian inilah salah satu lahirnyapewayangan dalam budaya Islam di Jawa.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah wayang sebagai metode dakwah?
2.      Bagaimana minat umat islam dalam bidang pewayangan?

C. Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Bagaimana sejarah wayang sebagai metode dakwah
2.      Mengetahui Bagaimanakah minat umat islam dalam bidang pewayangan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Wayang sebagai Metode Dakwah Islam

1.    Asal Mula Wayang
Penyebaran Islam di pulau Jawa melalui beberapa jalur seperti yang telah disebut diatas salah satunya adalah menggunakan  jalur kesenian. Antara lain contohnya hasil kesenian itu adalah gamelan, sastra sebagai saran untuk menjelaskan tentang kepercayaan dan wayang.[2] Wayang  pula  media kesenian  yang telah tumbuh dimasyarakat  sebelum Islam. Sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia bahwa wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia di sekitar sejak jaman jawa Kuna yaitu sekitar pada tahun 1500 SM. Jawa Kuna merupakan masyarakat jawa yang masih memepercayai animisme dan dinamisme  sebagai  keyakinan mereka.[3]
            Masukknya agama Hindu dan Budha kemudian mengembangkan  seni wayang ini sebagai seni dalam keseharian kehidupan mereka dengan memasukkan berbagai cerita didalamnya. Jika  cerita wayang pada jaman jawa kuna mengisahkan pemujaan masyarakat jawa kuno bentuk jelmaan roh nenek moyang mereka, maka dalam Hindu sendiri  wayang dijadikan  sarana untuk menceritakan tentang kisah-kisah cerita seperti Ramayana, Mahabarata dan lain-lain. Para mubaligh yang menyebarkan islam dijawa mewarisi kesenian tersebut setelah agama Hindu, kemudian dari sinilah  digunakan para mubaligh seperti Walisongo untuk menyampaikan ajaran Islam ke tengah masyarakat. Bentuknya ada yang dirubah , ada pula yang ada tetap, namun sudah dimasuki unsure-unsur Islam. Seiring berjalannya waktu wayang pun tumbuh dan berkembang dari bentuk cerita dan bentuknya, bahkan untuk jenisnya pun bertambah seperti wayang golek, wayang wong, wayang purwa, wayang potehi dan lain sebagainya.

2.      Kesenian Media Dakwah Walisongo

Walisongo merupakan para tokoh penting dalam proses Islamisasi di tanah Jawa. Kesuksesan dakwah tersebut tak terlepas dari kepiawaian membaca situasi kondisi demografi masyarakat setempat agar lancar manjalankan siyasah dan strategi dakwah. Selama perjuangannya menyebarkan ajaran Islam, Walisongo, terutama Sunan Bonang, selalu memasukkan unsur permainan dan kesenian yang tidak membuat masyarakat jenuh. Unsur-unsur permainan dan kesenian yang dibawakan Walisongo memang sederhana. Namun, memiliki nilai dan arti yang sarat dengan pesan moral dan etika syar'i yang memiliki multidimensi, baik spiritual maupun sosial. Kesenian, semisal wayang, gamelan, suluk, dan jelungan, misalnya, pada akhirnya menjadi sarana penyebaran kebudayaan yang diterima dengan cepat oleh masyarakat setempat.[4]
Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.


3.       Penarapan Kesenian Wayang oleh Sunan Kalijaga
Kesenian wayang yang ceritanya bersumber dari kitab Mahabarata, telah menarik  perhatian masyarakat Jawa. Karena itu, para wali menggunaknanya  sebagai media dakwah dengan mencipatakan kisah baru yang dimasuki Unsur Islam. salah seorang Wali menggunakannya sebagi metode dakwahnya yaitu  Sunan Kalijaga.[5] Beliau  mengadakan pertunjukan  wayang  tidak mau menerima upah  berupa uang atau materi laiinya, sehibgga apabila ada orang yang punya hajat dan ingin mempertunjukkan  persembahab wayang oleh Sunan Kalijag, maka  bayarannya berupa bacaan dua kalimat syahadat. Metode tersebut dilakukan berkala sehingga banyak orang yang tertarik dan masuk Islam.

B.     Bagaimana Minat Umat Islam dalam Bidang Pewayangan
Perkembangan wayang semakin meningkat pada masa setelah Demak, memasuki era kerajaan-kerajaan Jawa seperti Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali pujangga-pujangga yang menulis tentang wayang, menciptakan wayang-wayang baru. Para seniman wayang banyak membuat kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang dan mempertujukknnya dalam seni  pertujukkan wayang, hal tersebut dapat kita lihat ketika dalam pagelaran wayang sampai saat ini.[6]
Para dalang semakin profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak henti-hentinya terus mengembangkan seni tradisional ini. Dengan upaya yang tak kunjung henti ini, membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan, wayang dan seni pedalangan menjadi seni yang bermutu tinggi, dengan sebutan "Adiluhung". Wayang terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup. Dari landasan perkembangan wayang tersebut di atas, tampak bahwa memang wayang itu berasal dari pemujaan nenek moyang pada zaman kuna, dikembangkan pada zaman Hindu, kemudian diadakan pembaharuan pada zaman masuknya agama Islam dan terus mengalami perkembangan dari zaman kerajaan-kerajaan Jawa, zaman penjajahan, zaman kemerdekaan hingga kini.
Asal-usul wayang menjadi jelas, asli Indonesia yang berkembang sesuai budi daya masyarakat dengan Wayang Indonesia memiliki ciri khas yang merupakan jatidirinya. Sangat mudah dibedakan dengan seni budaya sejenis yang berkembang di India, Cina, dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Masyarakat sampai saat ini terlihat tetap menyukai wayang sebagai seni khas Indonesia. Banyak cara dalam penyampaian kesukaan mereka seperti menjadi dalang hal ini bisa dengan pengasahan bakat melalui sekolah atau berguru diperguruan tinggi khusus.  Memang tidak semua masyarakat mengetahui hakikat wayang itu,  baik mulai dari sejarahnya dan nama-nama tokohnya, namun ini tidak menyurutkan ketertarikan mereka terhadap seni wayang.
Minat dapat di ukur dari seberapa banyak orang yang dapat menguasai dalam hakikat wayang sebenarnya, boleh dikatakan benar karena semacam dalang, sinden dan seperangkat lainnya dijadikan contoh orang-orang yang masih tertarik terhadap seni wayang, namun jumlahnya sangat sedikit.  Jika perbandingan minat kepada kesenian wayang berdasarkan jumlah, maka bisa juga disimpulkan minat masyarakat kurang terhadap kesenian ini. Analisis jika dilihat dari kecintaan mereka maka hal tersebut belum dikatakan benar, buktinya meskipun peran masing-masing individu memang kurang dalam seninya, setidaknya masyarakat masih mencintai dengan cara melihat pagelarannya dengan begitu antusias, selain itu mereka tetap mempercyai bahwa dalam pertunjukkannya penonton dapat memetik pelajaran bagi kehidupan. Seperti yang terjadi di Desa Candigugur, sempat diadakan pagelaran perwayangan bebarapa bulan yang lalu yang dibuka untuk umum, warga satu kecamatan menyaksikannya walau sampai tengah malam. Hal ini berati masyarakat tetap berminat terhadap kesenian wayang, namun kesempatan meraka untuk menikamati seni wayang terbatas oleh beberapa hal, seperti minimnya sekolah kesenian, jarangnya pagelaran wayang, serta   biaya penyewaan wayang relative mahal. Mungkin itu hal-hal yang membuat keminatan masyarakat  tidak terlihat.










BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Wayang  pula  media kesenian  yang telah tumbuh dimasyarakat  sebelum Islam. Sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia bahwa wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia di sekitar sejak jaman jawa Kuna yaitu sekitar pada tahun 1500 SM. Jawa Kuna merupakan masyarakat jawa yang masih memepercayai animisme dan dinamisme  sebagai  keyakinan mereka.
Perkembangan wayang semakin meningkat pada masa setelah Demak, memasuki era kerajaan-kerajaan Jawa seperti Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali pujangga-pujangga yang menulis tentang wayang, menciptakan wayang-wayang baru. Para seniman wayang banyak membuat kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang dan mempertujukknnya dalam seni  pertujukkan wayang, hal tersebut dapat kita lihat ketika dalam pagelaran wayang sampai saat ini.














DAFTAR PUSTAKA

Suhandjati , Sri. 2015.Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal. Semarang: CV Karya Abadi Jaya.
superkelana.blogspot.com



[1] QS. al-Imran juz 3 ayat; 104.
[2] Sri Suhandjati, Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal (Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015). Hl. 64.
[3] Suprakelana.blogspot.com
[4] Buku mengenal tokoh wayang.
[5] Ibid,. Hl. 80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar