Rabu, 07 Juni 2017

Makalah Ulumul Hadis "Al -WUHDAN AL -MUDALLISUN



Al -WUHDAN AL -MUDALLISUN
MAKALAH
Di susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Mokh Sya’roni , M. Ag



Disusun Oleh :
Nur Faizah : 1604026019
Ika Fatkhiatul Azizah : 1604026017
Efiyatul Liana : 16040260

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Al-wahdan adalah para rawi yang hadis-hadisnya hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja. Sedangkan al-mudallisun sendiri adalah rawi yang meriwayatkan (mengaku menerima) suatu hadis dari orang yang pernah ia terima hadisnya, tetapi kali ini hadis itu tidak diterima darinya, dan dalam menyampaikannya ia menggunakan kata-kata yang mengesankan bahwa ia menerima hadis itu darinya, seperti kata ‘an Fulan (dari Fulan) atau Qala Fulan (berkata Fulan).

































BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-wahdan
الوحدان هم الرواة الذين لم يرو عنهم الا راو واحد
Al-wahdan adalah adalah para rawi yang hadis-hadisnya hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja. Sedangkan al-mudallisun sendiri adalah rawi yang meriwayatkan (mengaku menerima) suatu hadis dari orang yang pernah ia terima hadisnya, tetapi kali ini hadis itu tidak diterima darinya, dan dalam menyampaikannya ia menggunakan kata-kata yang mengesankan bahwa ia menerima hadis itu darinya, seperti kata ‘an Fulan (dari Fulan) atau Qala Fulan (berkata Fulan).
Faedah mengetahui ilmu ini adalah untuk dapat mengetahui rawi yang majhul selain sahabat. Diantara para sahabat yang termasuk kategori al-wahdan adalah Wahab bin Khanbasy, al-Musayyab bin Hazn (ayah Sa’id) dan Amr bin Taghlib.
Mengingat sulitnya ketunggalan seorang rawi, maka dalam mengkritik riwayat jenis ini para ulam banyak menggunakan kalimat “La yarwi ‘anhu illa wahidun” (hanya seorang rawi yang meriwayatkan hadis darinya).
Al-Hakim mengklaim bahwa Syaikhain tidak meriwayatkan hadis dari kelompok ini sedikit pun. Akan tetapi sebagian ulama menyanggahnya dan berkata bahwa Syaikhain meriwayatkan hadis dari sejumlah rawi yang termasuk kelompok ini. Al-Dzahabi menyebut nama sepuluh orang sahabat yang termasuk kelompok ini dan hadisnya diriwayatkan oleh Bukhari.
Akan tetapi, apabila hal ini dinisbatkan kepada para sahabat itu tidak akan mengurangi kreadibilitas mereka sedikit pun, karena mereka semuanya adil dan karenanya al-Hakim mengecualikannya. Namun, apabila dinisbatkan kepada selain sahabat, maka syarat yang dikemukakan oleh al-Hakim itu meskipun tidak berlaku bagi sebagian sahabat harus mempertimbangkan bagi orang-orang setelah mereka, sehingga dalam kitab al-Bukhari itu tidak terdapat satu hadis pun yang diriwayatkan melalui rawi yang termasuk ini.

B.     Pengertian Al-mudallisun

المدلّس هو من يحدّث عمن سمع منه ما لم يسمع منه بصيغةٍ توهم انّه سمع منه. كأن يقول عن فلانٍ أو قال فلانٌ.
Mudallis adalah rawi yang meriwayatkan (mengaku menerima) suatu hadis dari orang yang pernah ia terima hadisnya tetapi kali ini hadis itu tidak diterima darinya, dan dalam menyampaikannya ia menggunakan kata-kata yang mengesankan bahwa ia menerima hadis itu darinya, seperti kata-kata ‘an Fulan (dari Fulan) atau Qala Fulan (berkata Fulan).
Kata mudallas adalah bentuk jamak isim maf’ul dari kata:
دلّس- يدلّس- تدْليْسًا فهو مدلّسٌ ومدلّسٌ.
Kata at-tadlis secara bahasa diartikan menyimpan atau menyembunyikan cacat barang dagangan dari pembelinya. Pembeli mengia bahwa barang dagangan itu bagus, indah dan menarik, tetapi setelah diteliti benar dan dibolak-balik, ternyata terdapat cacat pada barang dagangan tersebut.
Tadlis menurut etimologis juga diartiakan bercampurnya gelap dan terang. Hadis mudallas di namai demikian karena ia mengandung kesamaran dan ketertutupan.
Adapun menurut istilah, kata hadis ,mudallas adalah sebagai berikut.
إخفاء عيبٍ في الإسناد وتحسينٌ لظاهره.
Menyembunyikan cacat dalam isnad dan penampakan cara (periwayatan yang baik).
Hadis mudallas juga disebut sebagai hadis yang isnadnya tersembunyi baik itutersembuyi sanadnya atau guru (syaikh)-nya.
Maksud menampakkan cara periwayatan yang baik adalah menggunakan ungkapan periwayatan yang tidak tegas bahwa ia mendengar dari penyampai berita. Hadis mudallas ini hampir sama dengan mursal khafi. Letak perbedaannya sangat kecil. Jika perawi itu hidup semasa dan pernah bertemu dengan pembawa berita, tetapi tidk pernah mendengar hadis daripadanya. Kemudian ia meriwayatkan suatu berita yang sebenarnya ia tidak mendengar langsung, dengan ungkapan kata yang tidak tegas seperti, qala Fulan dan ‘an Fulan, maka hadisnya disebut mursal khafi. Dan jika perawi itu hidup semasa, pernah bertemu dan mendengar beberapa hadis dari penyampai berita, lalu ia meriwayatkan suatu hadis yang sebenarnya ia tidak mendengar langsung denga ungkapan yang tidak tegas. Maka hadisnya, disebut mudallas.
                        Di antara para periwayat yang cacat sebagai mudallis adalah Muhammad bin Ishaq, Ibnu Juraij, Baqi’ bin al-Walid, al-Walid bin Muslim dal lain-lain.
Para ulama membagi hadis mudallas menjadi beberapa bagian, tetapi dapat kita klasifikasikan menjadi dua bagian pokok, yaitu tadlis isnad dan tadlis syuyukh.
1.      Tadlis isnad adalah
أن يروي الرّاوي عمن لقيه ما لم يسمعه منه موهما سمًاعه.
Seorang perawi meriwayatkan suatu hadis yang ia tidak mendengarnya dari seseorang yang pernah ia temui dengan cara yang menimbulkan dugaan bahwa ia mendengarnya.
            Maksud definisi di atas, tadlis isnad adalah seorang rawi meriwayatkan sebagian hadis yang telah ia dengar dari seorang syaikh, tetapi hadis yang di-tadlis-kan ini memang tidak didengar darinya, ia mendengar dari syaikh lain yang mendengar daripadanya. Kemudian syaikh lain ini digugurkan dalam periwayatan dengan menggunakan ungkapan yang seolah-olah ia mendengar dari syaikh pertama tersebut. Seperti kata qala Fulan atau ‘an Fulan. Tidak dengan ungkapan periwayatan yang tegas, seperti haddatsani = memberitahukan kepadaku atau sami’tu = aku mendengar, maka ia dihukumi pendusta. Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah melalui jalan abu Ishaq As-Subay’i dari Al-Barra bin Azib r.a. bekata: Rasulullah saw. bersabda:
ما منْ مسلميْن يلتقيان فيتصا فحان إلّا غفر لهما قبل أنْ يتفرّقا.
Tidak ada dari dua orang yang bertemu kemudian bersalam-salaman, kecuali diampuni bagi mereka sebelum berpisah.
            Abu Ishaq As-Subay’i aslinya Amr bin Abdullah, ia seorang yang tsiqah, tetapi disifati mudallis. Ia mendengar beberapa hadis dari Al-Barra bin Azib, tetapi dalam hadis lain, ia tidak mendengar darinya secara langsung. Ia mendengar dari Abu Dawud Al-Ama yang matruk hadisnya. Kemudian meriwayatkan dari Al-Barra dan menyembunyikan Abu Dawud dengan ungkapan ‘an’anah = dari (sanad-nya menggunakan kata ‘an = dari). Menurut Ibnu Al-Shalah dan Imam Al- Nawawi, hadis tadlis isnad disebut juga hadis mursal khafi. Adapun hadis yang diriwayatkan oleh orang tidak dalam satu masa itu disebut hadis mursal dhahir.
1.      Tadlis isnad terdiri atas empat macam tadlis, yaitu :
a.      Tadlis isqath
Tadlis isqath adalah apabila seorang muhaddits meriwayatkan suatu hadis yang tidak didengarnya dari ornag yang pernah bertemu dengannya dan pernah didengar hadisnya, lalu hadis tersebut dinisbatkan kepadanya untuk memberi kesan bahwa ia telah mendengar hadis itu darinya. Atau dari orang yang pernah berjumpa dengannya tetapi tidak pernah didengar hadisnya untuk memberi kesan bahwa ia telah bertemu dan mendengar hadis itu darinya.
Seperti ia berkata: an Fulanin atau anna Fulanan qala kadza atau haddatsana Fulanun Kadza, dan kata-kata sejenis yang mengesankan adanya proses penerimaan hadis tetapi tidak secara tegas menyatakan demikian. Kadang-kadang antara dia dan orang yang diriwayatkan  hadisnya terdapat seorang rawi atau lebih.
Adapun apabila ia mengungkapkan kata-kata yang secara tegas menunjukkan adanya proses penerimaan hadis, seperti kata “haddatsani” atau “sami’tu” maka ia tidak lagi disebut mudallis, melainkan disebut kadzdzab yang sama sekali tidak perlu diperhatikan. Oleh karena itu, seorang mudallis mengaku telah melakukan tadlis ketika ia dimintai penjelasan dan diteliti orang lain tentang proses penerimaan hadisnya. Bahkan, banyak di antara mereka yang dengan kesadaran sendiri menjelaskan hadis yang telah di-tadlis-nya. Hal terakhir dilakukan agar tidak mengelabui manusia.
Contoh hadis mudallis yang demikian adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu ‘Awamah dari al-A’masy dan Ibrahim al-Taimi dari ayahnya dari Abu Dzarr bahwa Nabi saw. bersabda:
فلانٌ في الناّر ينادى: ياحناّن يا مناّن.
Si Fulan dalam neraka memanggil-manggil “Ya Hannanu, Ya Mannanu” (Wahai zat yang Maha Pengasih, Wahai zat yang Maha Pemberi Anugerah).
Abu Awamah berkata: Saya bertanya kepada al-A’masy: “Benarkah kau mendengar hadis ini dari Ibrahim?” Ia menjawab ”Tidak”. Hadis itu diriwayatkan kepadaku oleh Halim bin Juhair darinya. Jadi, al-A’masy men-tadlis hadis itu dari Ibrahim, tetapi ketika ia dimintai penjelasan, ia menjelaskan perantara antara dirinya dan Ibrahim.
b.      Tadlis Taswiyah
وهو أن يروي المدلّس حديثاً عن ضعيفٍ بين ثقتين لقي احدهما الاخر فيسقط الضعيف و يجعل بين الثقتين عبارةً موهمةً.
Tadlis Taswiyah adalah seorang mudallis meriwayatkan suatu hadis yang melalui riwayat dhif yang terdapat di antara dua rawi yang tsiqat yang salah satunya bertemu dengan yang lain, lalu rawi yang dhaif itu tidak dicantumkan dan di antara dua orang rawi yang tsiqah itu, kemudian dicantumkan sebuah ungkapan yang mengesankan adanya proses penerimaan hadis antara kedua orang itu tidak secara tegas.
Dengan demikian tampak bahwa sanad hadis yang bersangkutan terdiri atas sederetan rawi yang tsiqah bagi orang yang tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Para muhaddits mutaqaddimin menamainya dengan tajwid, karena mudallis itu hanya menyebutkan para rawi yang baik-baik dan membuang rawi yang lain.
-          Tadlis Taswiyah, yaitu seorang perawi meriwayatkan hadis dari seseorang syaikh, kemudian digugurkan seorang dhaif antara dua syaikh yang tsiqah dan bertemu antara keduanya.
-          Tadlis Taswiyah, juga diartikan perawi meriwayatkan hadits dari seorang guru, lalu perawi-perawi yang dhaif yang ada di antara dua guru yang tsiqah digugurkan, yang keduanya sudah pernah bertemu.
Maksudnya, perawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang dhaif, dan guru yang dhaif ini menerima dari guru yang tsiqah.
Ulama salaf menyebut tadlis taswiyah dengan sebutan tadlis tajwid, karena dalam periwayatannya terdapat seorang rawi yang berusaha memperbaiki sanad hadis itu dengan jalan menghilangkan rawi yang lemah dan menetapkan rawi yang baik-baik saja. Seorang rawi yang terkenal melakukan tadlis taswiyah ini adalah Baqiyyah Ibnu Al-Walid bin Muslim.
c.       Tadlis Qath’
وهو أن يقطع اتصال أداة الرواية بالراوى.
Tadlis qath’ adalah memisahkan persambungan adaturriwayah dengan nama rawinya.
Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Kasyram.
كنا عندابن عيينة فقال: الزهرى؛ فقيل له, حدثكك؛ فسكت, ثم قال: الزهرى فقيل له؛ سمعته منه؟ فقال: لم اسمعه منه ولا ممن سمعه منه حدثني عبد الرزاق عن معمر عن الزهرى.
Pernah ketika kami berada di samping Ibnu Uyainah, maka ia berkata “Al-Zuhri” Maka ditanyakan kepadanya, “Apakah al-Zuhri meriwayatkan hadis kepadamu?” Maka ia diam. Kemudian ia berkata, “Al-Zuhri” Maka ditanyakan kepadanya, “Apakah engkau mendengar hadis darinya?” Maka ia berkata, “Saya tidak mendengar hadis itu dari al-Zuhri dan tidak dari orang yang mendengarnya darinya, melainkan meriwayatkan kepadaku Abdurrazaq dari Ma’mar al-Zuhri.”
Hadis ini merupakan contoh tadlis isqath beserta gugurnya adaturiwayah.
d.      Tadlis ‘Athaf
وهو أن يصرح بالتحد يث عن شيخ له ويعطف عليه شيخا اخر لم يسمع منه ذلك المروي.
Tadlis Athaf adalah penyataan seorang rawi bahwa ia telah menerima hadis dari seorang gurunya dengan meyertakan guru lain yang tidak ia dengar tersebut darinya.
Al-Hakim berkata, “ Sejumlah rawi meriwayatkan hadis kepada kami bahwa sekelompok murid Husyaim pada suatu hari sepakat untuk tidak menerima hadis mudallis darinya. Namun ia cukup cerdik untuk itu, maka pada suatu ketika ia meriwayatkan hadis dengan mengatakan:
حدثنا حصين و مغيرة عن ابراهيم.
Meriwayatkan hadi kepada kami Hushain dan Mughirah dari Ibrahim...
Setelah selesai ia berkata, “Apakah pada hari ini aku me-tadlis hadis kepada kalian?” Mereka menjawab : “Tidak.” Ia lalu berkata: “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari hadis yang aku sampaikan ini. Sebenarnya aku berkata:
حدثنى حصين ومغيرة غير مسموع لى.
Meriwayatkan hadis kepadaku Hushain, sedangkan Mughirah tidak saya dengar hadisnya.
Yakni, ia menyembunyikan kata-kata yang tidak ia ungkapkan kepada murid-muridnya itu, sebagaimana yang ia jelaskan.
 Hukum tadlis isnad dengan segala jenisnya adalah sangat dibenci oleh kebanyakan ulama. Syu’bah bin al-Hajjaj berkata, “Tadlis itu saudaranya pembohong.” Sulaiman bin Dawud al-Munaqqari berkata, “Tadlis, penyembunyian fakta, bujuk rayu palsu, penipuan dan kebohongan pada hari rusaknya seluruh rahasia(hari kiamat) akan dikumpulkan dalam satu jalur.”
دلّس للنّاس احاديثه والله لا يقبل تدليسًا.
Ia men-tadlis hadis-hadisnya kepada manusia, dan Allah swt. tidak akan menerima tadlis.
Di antar sekian macam tadlis isnad, yang paling jelek adalah tadlis taswiyah, karena rawi tsiqah yang pertama kadang-kadang tidak dikenal sebagai seorang mudallis, sehingga seorang peneliti setelah adanya tadlis taswiyah akan beranggapa bahwa ia meriwayatkan hadisnya dari rawi lain yang tsiqah dan karenanya menghukuminya sahih. Dalam hal yang demikian terkandung penipuan besar. Al-Hafizh al-Ala’i berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan hadis tadlis macam ini adalah dhaif.”
Adapun berkenaan dengan hukum hadis mudallas degan tadlis isnad ini para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka yang berhaluan keras menilainya sebagai hadis yang cacat dan karenanya mereka tidak menerimanya, dan sebagian lain yang menganggap mudah hal itu menerimanya secara mutlak.
Pendapat yang sahih adalah yang diikuti oleh jumhur ulama imam hadis, yaitu relatif. Yakni bahwa hadis mudallas yang diriwayatkan oleh rawi mudallis yang tsiqah dengan menggunakan ungkapan yang tidak tegas dan tidak menunjukkan as-sima’(penerimaan hadis dengan cara mendengarnya), maka hukumnya sama dengan hadis munqathi’, yaitu ditolak. Adapun hadis mudallas yang diriwayatkan dengan ungkapan yang menunjukkan bersambungnya sanad, seperti dengan kata-kata sami’tu, haddatsana, dan akhbarana. Maka hadisnya dihukumi muttasil dan dapat dipakai sebagai hujjah apabila matan dari sanadnya memenuhi semua kriteria kehujjahan hadis.
Hal ini terjadi karena tadlis bukanlah suatu kedustaan, melainkan semacam tindakan meragukan dengan redaksi yang tidak tegas. Sehingga apabila ketidaktegasan itu hilang, maka sanad yang bersangkutan adalah muttasil. Sikap ini dipilih oleh jumhur ulama, lebih-lebih imam Syafi’i, sebab ia pernah mengambil sikap yang demikian terhadap orang yang kita ketahui telah melakukan tadlis pada suatu keempatan.
Kesahihan pendapat di atas diperkuat pula oleh pemuatan hadis-hadis serupa dalam al-Shahihain dan kitab rujukan lainnya dalam jumlah yang cukup banyak yang semuanya menegaskan terjadinya al-sima’ seperti hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Qatadah, al-A’masy, Sufyan al-Tsauri, Ibnu Uyainah, Husyaim bin Basyir. Pen-taskhih-an para imam hadis terhadap hadis-hadis para rawi yang menjelaskan persambungan sanadnya ini menunjukkan pendapat yang telah tercantum di atas.
2.      Tadlis Syuyukh
Kata syuyukh jamak dari kata syaikh, yang maksudnya guru atau rawi.
Mudallas syuyukh ialah tadlis tentang rawi-rawi.
وهو أن يروي الراوي عن شيخ حديثاً سمعه منه فيسميه او يكنيه او ينسبه او يصفه بما لايعرف به كي لايعرف.
Tadlis Syuyukh adalah seseorang meriwayatkan hadis yang didengarnya dari seorang guru lalu menyebutkannya dengan nama, gelar, nasab, atau sifatnya yang tidak dikenal dengan maksud agar tidak diketahui siapa ia sebenarnya.
Contohnya, al-Harits bin Abi Usamah meriwayatkan hadis dari al-Hafizh Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Abi al-Dunya. Al-Harits itu lebih tua daripada a-Hafizh Abu Bakar, lalu ia men-tadlis-nya; kadang-kadang ia menyebutkan Abdullah bin Ubaid, kadang-kadang menyebutnya Abu Bakar bin Sufyan.
Demikian pula al-Khatib al-Baghdadi terhadap beberapa gurunya. Ia meriwayatkan hadis dalam kitabnya al-Rihlah fi Thalab al-Hadits dari al-Hasan bin Muhammad bin Khalal. Kemudian, ia men-tadlis-nya dengan menyebutkan al-Hassan bin Abu Thalib. Ia juga meriwayatkan hadis dari gurunya, yaitu Muhmmad bi al-Husain bin al-Fadhl dan dalam ia men-tadlis-nya dengan menyebutnya Ibn al-Fadhl dan dalam kesempatan lain ia menyebutnya Muhammad bi al-Husain.
Tadlis yang seperti ini banyak terdapat dalam kitab-kitab yng disusun oleh para ulama mutaakhirin.
Hal ini telah diantisipasi oleh para ulama dengan mengadakan penelitian dan menjelaskan nama-nama yang di-tadlis ini. Dalam berbagai kitab, pembahasan ini diberi judul Man ‘Urifa bi Asma’in wa Nu’utin Muta’adidah.
Hukum tadlis jenis kedua ini secara global tidak seberat tadlis isnad karena guru yang di-tadlis itu dapat diketahui oleh orang yang luas pengetahuannya tentang para rawi dan nama-nama mereka. Hanya saja pelaku tadlis ini boleh jadi ingin menghilangkan nama gurunya itu, sehingga pada akhirnya ia berakibat terlantarnya hadis yang diriwayatkannya.
Tingkat kejelekan tadlis syuyukh itu bervariasi sesuai dengan beragamnya motif pelakunya. Oleh karena itu, tadlis syuyukh yang paling jelek adalah apabila guru yang di-tadlis itu adalah rawi yang dhaif. Tadlis terhadap guru dhaif itu tiada lain agar kelihatan bahwa riwayat yang bersangkutan berasal dari rawi yang dhaif atau terjadi karena salah duga terhadapnya bahwa ia adalah salah seorang rawi tsiqah yang namanya sama dengan gelarnya.
Kadng-kadang motif tadlis syuyukh ini adalah karena gurunya itu lebih muda atau wafatnya lebih akhir bersamaan dengan orang yang dibawah usianya. Dan sering kali motif tadlis syuyukh ini yaitu untuk memberi kesan bahwa gurunya banyak. Sering kali pula motif seorang muhadits melakukan tadlis syuyukh itu untuk menguji kecerdasan para pencari hadis dan orang yang mempelajarinya serta untuk mengarahkan agar mereka bersikap kritis mengenai karakteristik para rawi, nasab mereka, dan sebagainya.
C.    Hukum Periwayatan Tadlis
Periwayatan tadlis dikenal sebagai muadallis ada beberapa pendapat tentang hukum periwayatannya, apakah diterima atau tidak yaitu:
1)      Ditolak secara mutlak, baik dijelaskan dengan tegas( as-sama’) atau tidak, yaitu pendapat sebagian Malikiyah. Bahkan menurut sebagian mereka walaupun diketahui sekali melakukan tadlis, tetap ditolak.
2)      Diterima secara mutlak, pendapat Al-Khatib dalam al-kifayah dari para ahli ilmu. Alasan pendapat ini, tadlis dipersamakan dengan irsal (hadis mursal).
3)      Diterima jika tidak diketahui melakukan tadlis kecuali dari orang tsiqah, ini pendapat Al-Bazzar, Al-Azdi, Ash-Shayrafi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Abdul Barr.
4)      Diterima jika tadlis-nya langka atau sedikit saja seperti pendapat Ali bin Al-Madini.
5)      Diterima periwayatannya, jika ia tsiqah dan mempertegas periwayatannya dengan as-sama’, seperti pendapat jumhur muhadditsin. Pendapat yang terakhir ini yang shahih.
Demikian perbedaan pendapat para ulama mempertimbangkan posisi hadis mudallas secara adil. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ada tiga pendapat, yaitu diterima secara mutlak, ditolak secara mutlak, dan diterima dengan catatan atau syarat tertentu.
D.    Beberapa Faktor Pendorog Tadlis
Ada beberapa faktor pendorong terjadinya tadlis as-syuyukh, yaitu:
1)      Kelemahan seorang syaikh atau ia tidak tsiqah,
2)      Wafat syaikh belakangan sehingga dimungkinkan ia bersama jamaah dalam mendengar hadis dari penyampai berita, padahal tidak demikian,
3)      Usia muda memungkinkan terjadinya tadlis as-syuyukh, karena ia lebih muda daripada yang meriwayatkannya,
4)      Banyaknya periwayatan, ia tidak suka memperbanyak periwayatan dengan menyebutkan satu nama.
Sedangkan untuk tadlis isnad, selain tiga faktor pendorong utama diatas, ditambah dua hal sebagai berikut.
1)      Memberi pemahaman isnad ‘ali (isnad yang sedikit perawinya).
2)      Luput sedikit sebagian dari sanad hadis yang banyak dan panjang sebagaimana yang ia dengar dari syaikh.
E.     Nama-nama Mudallis
Di antara rawi yang dikenal banyak melakukan tadlis adalah Baqiyah bin al-Walid, al-Walid bin Muslim al-Dimasyqi, Husyaim bin Basyir, Ibnu ‘Uyainah, al-A’mas, Qatadah as-Sadusi, Abdurrazaq bin Hammam, Hasan al-Basyri, Ibnu Abbas, Jarir bin Hamzah al-Azdi, Thawus bin Kaisan, Hafsh bin Ghiats, Hisyam bin Urwah, Sufyan ats-Tsauri, Humaid at-Thawil, ‘Irimah bin ‘Ammar, Hajjaj bin Arthath, Muhammad bin Isyhaq bin Yasar, ‘Abdullah bin Lahi’ah.

F.     Buku Hadis Mudallas
1)      At-Tabyin li Asma’ Al-Mudallisin, karya Al-Khatib Al-Baghdadi.
2)      Ta’ri Ahl At-Taqdis bi Maratib Al-Mawshufin bi At-Tadlis, karya Ibnu Hajar.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan









DAFTAR PUSTAKA

Nuruddin ‘itr. 2012. Manhaj An-Naqd Fi ‘uluum al-hadits. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Faisal Rosidin, Mukarom. 2012. HADIS. Solo : PT Wangsa Jatra Lestari.

Majid Khon, Abdul. 2013.Ulumul Hadis. Jakarta : Amzah.
Ma’shum Zein, Muhammad. 2008. Ulumul hadits dan Mustholah Hadits. Jombang : Darul Hikmah.

Hassan, A. Qadir. 2007. Ilmu Musthalah Hadits. Bandung : CV Penerbit Diponegoro.

Sattar, Abdul. 2015. Ilmu Hadis. Semarang : Rasail Media Grup.

Alawi Al-Maliki, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar